Senin, 15 Februari 2010

LANGIT YANG SAMA

“Mau temenin gue ke planetarium gak?”

“Buat apa?”

“Ngeliat bintang lah.”

“Katanya lebih suka hujan. Kok sekarang malah milih bintang?”

“Karena hujannya udah gak bakal sering datang lagi.”

“Kenapa?”

“Karena hujan nya mau pergi jauh sekali.”

~*~

“Gania! Hei! Hei! Tunggu!” Seseorang memanggil dari belakang. Cewek itu menoleh dan mendapati laki-laki berperawakan agak tinggi dengan rambut spiky, wajah campuran oriental dan kaukasian, memakai kawat gigi, membawa tas ransel berwarna abu-abu yang kusam karena telah lama dipakai.

Si cewek membuat senyum seindah mungkin untuk cowok itu, “Kenapa, Yen?” dia langsung membalikkan badan sambil menarik bibirnya lebih lebar, agar senyumnya benar-benar kentara. Rayen berjalan menjajari Gania sambil sesekali melirik cewek itu. Masih belum ada tanda-tanda Rayen akan menjawab pertanyaan Gania.

Hey… What’s happen? Gue gak ngerti kenapa elo ngelirik-lirik gue tanpa kasi tahu apa yang telah terjadi, atau mungkin apa yang akan terjadi, atau apa yang sedang ter…” omongan Gania terpotong. “Jadi.” Rayen berdiri di hadapan Gania. Dia merengkuh bahu Gania sambil menatap jauh ke dalam mata gadis itu.

Rayen tersenyum. Gania juga ikut tersenyum sambil menanti jawaban dari Rayen, “You know what? I got it.” Sahut Rayen pelan. Dia melepas rengkuhannya dari pundak Gania dan kembali berjalan. Kali ini lebih cepat.

“Dapet apa?” sahut Gania sedikit berteriak, berusaha menjajari langkah Rayen. Gania masih belum mengerti maksud dari kabar gembira Rayen. Yah! Sesuatu yang Rayen dapatkan haruslah membahagiakan. Karena Rayen tersenyum sejak mereka berjalan bersama. Dan jarang ada hal yang bisa membuat Rayen bahagia seperti sekarang ini.

Mereka tiba di pelataran parkir, ketika Rayen akan memberitahu. Tapi Tante Ira sudah mengklakson, memaksa Rayen untuk berlari menuju ke mobil. Rayen melambaikan tangannya. Gania menunduk memberi salam sewaktu melihat sosok Tante Ira, yang termasuk business woman high class di Jakarta. Tante Ira tersenyum dan menutup kaca mobil. Sebelum pergi Rayen berteriak, “I’ll call you. Promise.

Gania tersenyum. Penasaran. Itu perasaan yang dia rasakan saat ini. Rayen, kekasihnya yang jarang tersenyum selebar itu, hari ini begitu ceria. Entah apa yang membuatnya bahagia.

~*~

Rayen mencari nama Gania di contact-nya. Kemudian menekan tombol dial, sesaat terdengar nada sambung.

“Halo, Noni.” Sapa Rayen.

“Halo, Ayen.” Balas orang di seberang sana.

“Lagi apa lu?”

“Lagi selesain tugas Pak Sebastian. Elo?”

“Lagi mikirin seseorang.”

“Siapa?”

Ada deh. Kalau dikasi tahu nanti dia nya GR.

“Ooo…”

“Kenapa cuma O?”

“Abis gak tahu mau ngomong apalagi.”

“Gak penasaran sama yang tadi siang?”

“Penasaran sih. Tapi kan tergantung lo mau kasi tahu apa enggak.”

“Kenapa juga gue gak mau kasi tahu elo.”

Dunno.”

“Nih gue kasi tahu.”

“Apa?”

“Gue dapet.”

“Dapet apa sih, Yen?”

“Beasiswa.”

Tiba-tiba percakapan terputus. Telepon antara Gania dan Rayen terputus malam itu. Gania menutup telepon sambil mengerutkan alis. Bingung. Dan Rayen di ujung sana menyumpah hal ini tidak akan terulang lagi. Batere handphone-nya habis.

~*~

Gania dan Rayen jalan berdua menuju kantin. Kelas mereka berbeda. Mereka juga berbeda tahun lulus. Namun cinta gak memandang semua itu. Asal si cupid rela melepaskan panahnya, siapapun tidak bisa mengelak. Dan otomatis akan berjuang demi itu. Seperti Gania, si junior dan Rayen si senior.

Rayen menarik kursi untuk Gania, “Lo mau makan apa?” Gania melirik papan di atas kios di kantin sekolah mereka, “Buah sama air putih aja. Nanti gue nyomot punya lo.” Dia jawab pertanyaan Rayen dan diakhiri dengan senyum. Senyum termanis milik Gania. Rayen mengangguk dan segera memesan makanan untuk mereka berdua.

Tak lama kemudian, dia datang membawa buah milik Gania lengkap dengan air putih. “Elu setiap hari makan soto terus. Itu kan makanan bersantan. Gak baik buat perut.” Seru Gania sambil melahap semangka dari mangku buahnya. Rayen yang baru selesai membukakan botol milik Gania langsung merengut, “Daripada elo setiap hari makan buah. Gak baik buat tubuh.”

“Ih!” sungut Gania. Kemudian dia menyendok kuah soto milik Rayen. “Pueh! Asin banget.” Lagi-lagi Gania mencela makanan Rayen. “Asin gak baik loh, Yen. Nanti bisa darah tinggi.” Rayen masih melanjutkan makan. Menunggu mulutnya kosong dan meneguk minuman sodanya.

“Gangguan perut, darah tinggi atau apapun juga, gue rela. Asalkan elo mau ada di samping gue sampe gue sembuh.” Seru Rayen pendek tapi dalam. Kemudian dia kembali makan. “Elo bentar lagi mau UN kan Ayen?” Gania meneguk air putihnya.

Rayen mengangguk sambil sibuk dengan soto nya, “Gue sudah puas sama try out dari sekolah. Elo lihat sendiri kan nilai try out gue? Gak jelek-jelek amat.” Sahutnya santai. Gania hanya menggeleng-geleng menatap kecuekan dari Rayen yang 100%.

“Dito, beliin aku air dong… Aku haus.” Sahut Regina. Sekilas Gania penasaran sama percakapan Anindito dan Regina, pasangan kekasih ala SMU yang asli. Gak seperti Gania dan Rayen.

Dito mengelus kepala Regina dan berkata, “Aku beliin yah. Kamu tunggu di sini.” Kemudian Dito pergi membelikan apa yang Regina inginkan.

Gania kembali menatap mangkuk buahnya, “Gina sama Dito romatis yah, Yen.” Sahut Gania agak menyindir Rayen. Cowok itu segera duduk manis dan membersihkan sisa santan dari bibirnya, “Pacaran sambil mengecup dan mengelus-elus kepala? Panggil aku kamu?” cecar Rayen dengan pertanyaan.

Cewek itu mengangguk, “Kita sampai sekarang gak pernah ngomong aku kamu. Elo juga gak pernah pegang kepala gue.”

Rayen berdiri sambil melahap melon terakhir dari mangkuk Gania, “Karena sayang gak ditunjukin dengan semua itu.” Gania berdiri mengambil botol minumannya dan berjalan di belakang Rayen.

~*~

“Hari ini mau tanya pelajaran gak?” tanya Rayen sambil menenteng tas ranselnya. Badannya berkeringat karena habis main basket bersama teman-teman yang lain. Gania menggeleng. Rayen menatap Gania, “Lo marah soal tadi siang?” Rayen berhenti di depan Gania. Sambil menatap mata Gania yang bening nan jernih itu.

Gania menggeleng dalam-dalam, “Ak… Gue gak marah kok. Cuma mungkin gue harus ngerti soal kata-kata lo tadi.” Air hujan menetes pelan, ketika mereka berdua sudah ada di pelataran parkir, hujan makin deras. “Hujan.” Sahut Gania sambil tersenyum. Senyum yang indah, batin Rayen.

Hujan yang indah, batin Gania.

“Noni, dari tadi kok lu senyum-senyum terus sih?” Tanya Rayen sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Gania. Gania yang tadinya tersenyum, sekarang malah berekspresi datar dan menatap Rayen.

“Kenapa elo manggil gue “noni”, Yen?” Gania bertanya sambil menilik wajah Rayen. Rayen memonyongkan bibirnya sambil berpikir. Memikirkan jawaban dari pertanyaan Gania.

Rayen tersenyum sambil memegang bahu Gania, “Jawabannya sama dengan kenapa elo manggil gue Ayen.” Rayen menjawab enteng sambil mengambil jaket dari tas ranselnya. Gania membuka tangannya untuk menadahi air hujan, “Hujan itu bagus yah, Yen.” Gania menengadah ke atas langit yang belum lelah menurunkan air.

“Elo suka hujan?” Rayen membuka jaket itu dan menutupi kepala Gania. Cewek itu mengangguk, masuk ke mobilnya dan melambaikan tangan kepada Rayen. Padahal hujan itu bikin gue gak jadi jemur baju, batin Rayen.

~*~

Gania membuka SMS yang baru dia dapatkan dari Rayen, “Gue telpon lo setengah jam lagi. Lo mandi, jangan lupa makan. Gue juga mandi and makan. Ok, Noni?” Gania menekan tombol reply, “Ok, Ayen. Mandi yang bersih yah.”

Setengah jam kemudian.

“Ayen?” sahut Gania di telepon. Gania memutar-mutar kabel telepon menunggu sahutan dari Rayen. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tidak ada jawaban. Rayen memang sudah mengangkat teleponnya. Tapi tidak ada jawaban sejak telepon itu diangkat.

Kemudian terdengar suara Rayen, “Ni…” sahut Rayen pelan sambil menahan luapan perasaannya. Gania di ujung sana bingung dengan sikap Rayen yang agak aneh itu. “Ayen, kenapa? Ada apa? Kenapa belakangan ini lo selalu bikin gue banyak nanya sih, Rayen?”

Rayen seperti menelan ludah dan menyiapkan kalimat yang tepat untuk memulai dialog mesra mereka hari ini, “Noni, kalau gue gak lagi di deket lo, lo bakal gimana?” Gania menoleh bingung, “Gue gak ngerti, Yen. Tapi kalau pun sampai harus, gue bakal nunggu. Atau mungkin gue nyusul. Memangnya kenapa sih, Yen? Jawab dan jangan nanya lagi.”

“Gue… Gue… Beasiswa itu untuk kuliah di Malaysia, Ni. Enam tahun. Empat tahun kuliah. Dua tahun kerja.” Jelas Rayen singkat, padat namun menyakitkan bagi Gania. Gania terdiam sejenak. Dia menahan suaranya. Dia tidak ingin Rayen mendengar dia menangis. Kini giliran Gania menelan ludah.

Rayen menunggu jawaban dari Gania, “Gue bingung, Yen. Gue bingung mau… jawab apa… Gue gak mau lo pergi. Tapi lo lulus juga, lo harus pergi dari gue.” Gania diam sangat lama. Mereka tenggelam dalam suara malam yang terdiri dari suara angin dan binatang malam.

“Mau temenin gue ke planetarium gak?” kata Gania tiba-tiba.

Rayen menoleh kebingungan, “Buat apa?”

“Ngeliat bintang lah.”

“Katanya lebih suka hujan. Kok sekarang malah milih bintang?” seru Rayen mengingat hari di mana mereka bersama melihat hujan di sekolah.

Gania menjawab sambil menahan tangisnya, “Karena hujannya udah gak bakal sering datang lagi.”

“Kenapa?”

“Karena hujan nya mau pergi jauh sekali.” Dan tangis Gania pecah. Telepon itu di akhiri dengan tangis Gania dan usaha untuk menghibur dari Rayen.

~*~

Satu tahun kemudian.

Tahun ini giliran Gania yang akan meninggalkan SMA. Ujian tahun ini tidak kalah menegangkannya dengan tahun lalu. Tapi Gania sangat jauh berbeda. Dulu tanah hatinya yang kering dan bosan bisa menjadi basah dan ceria karena ada Rayen. Satu tahun yang lalu, fisika, kimia, matematika terasa begitu mudah.

Sekarang tiga pelajaran eksak itu begitu membuat Gania menderita, kesal dan sering marah sendiri. Akhirnya Gania mengikuti saran Mama untuk mengambil les private. Dan sesekali ikut belajar kelompok dengan teman-temannya. Gania juga sibuk dengan prom nite dan acara graduation sekolah. Dia terpilih untuk menyanyi di acara graduation itu.

Tinggal beberapa hari sebelum ujian nasional. Gania merasa lelah di kejar-kejar untuk mengerjakan soal-soal dari sekolah. Entah fisika, kimia, matematika. Semua guru berlomba memberikan dia begitu banyak tugas dan PR untuk latihan. Kadang Gania perlu tempat bersandar.

Seperti Regina yang punya Dito. Enaknya Gina, Ditonya enggak kuliah di luar negeri, batin Gania.

Setelah acara ke planetarium dan farewell pribadi, mereka berjanji untuk sering email-email-an, chatting, atau wall-wall-an di facebook. Atau sekedar video call dengan skype. Tapi belakangan ini, karena kesibukan Gania, kadang dia malas untuk berdekatan dengan komputer. Padahal alat elektronik itu yang bisa membuat Gania dan Rayen berkomunikasi.

Email dari Rayen sama menyegarkannya dengan air untuk bunga di pagi hari. Melihat wajah Rayen memang sebuah hari untuk sekolah. Tapi kehadiran Rayen seperti hidup bagi Gania. Sayang itu sangat jauh dari mungkin, Rayen sibuk. Gak mungkin dia pulang di tengah-tengah semester begini.

Sore ini terasa sama seperti biasanya. Datar dan sepi. Tanpa Rayen. Tanpa hujan juga. Sejak Rayen pergi, hujan juga jarang datang. Gania melirik langit di hadapannya. Begitu biru dan menyegarkan. Jarang cuaca seperti ini. Namun bagi Gania tidak indah kalau dinikmati hanya sendiri.

Dia terduduk di bangku depan rumah sambil menengadah ke langit, “Tuhan, kalau aku boleh memohon, aku minta hujan dong. Dan “hujan”.” Kata hujan terakhir, Gania ucapkan dengan pelan dan halus, kemudian dia memilih untuk berlari-lari di alam khayalannya.

I’m home.” Tiba-tiba terdengar suara dari balik gerbang rumah Gania yang tinggi dan hitam. Gania sedikit tersentak kaget. Dia kira orang asing yang akan menculiknya. Sesaat Gania memperhatikan sosok itu. Masih sama seperti dulu. Tinggi dan spiky. Kali ini dia tidak dengan kawat gigi. Tapi masih dengan ransel itu.

Gania berdiri dan berlari mendekati gerbang. Dia berdiri sesaat di hadapan Rayen sambil tersenyum bahagia. Lama mereka diam hanya untuk saling berpandangan. “Lo gak pernah mau ganti tas yah?” respon pertama Gania. Dia sama sekali tidak tahu harus berkata apa.

“Aku coba untuk mengganti elo dengan kamu dan gue dengan aku.” Balas Rayen masih di balik gerbang. Tak lama mereka agak aneh dengan posisi seperti salah satu sedang terpenjara itu, “So princess, can I come in?” Rayen berusaha mengutarakan kalimat itu dengan pesona yang ia bangun selama satu tahun di Malaysia dengan roommatenya yang dari Paris.

Gania tertawa dan membuka gerbang untuk Rayen. Tanpa menunggu, Rayen memeluk Gania dengan erat. Kemudian melepasnya perlahan sambil mengubah arah pandang matanya ke hadapan mata Gania. Rayen menatap Gania lama. Keduanya masih tersenyum dan menyusun kembali kenangan masa SMA milik Rayen dan mengobati semua kerinduan.

Rayen mengelus kepala Gania dan mengecupnya, “Sekarang aku pikir, mengelus, mengecup kening pasangan dan mengubah gue-elo menjadi aku-kamu adalah salah satu cara yang wajar untuk mengungkapkan rasa sayang, Ni.” Sahut Rayen pelan namun begitu nyaman dan menyentuh hati Gania.

“Berarti mengelus, mengecup dan hal lainnya hanya diperuntukkan bagi mereka yang akan lulus SMA?” sahut Gania iseng. Rayen tersenyum lebih lebar dan mengacak-acak rambut Gania yang lebih pendek dari dulu.

Gania menarik tangan Rayen. Mereka duduk di bangku halaman. Langit sudah mulai gelap. Dan bintang muncul sedikit demi sedikit. Walaupun tidak sebanyak yang ada di planetarium. “Noni?” panggil Rayen halus. Gania menoleh dan menatap Rayen, “Kenapa Ayen?” sahut Gania dengan senyum yang sangat Rayen rindukan.

“Aku gak mau temenin kamu ke planetarium lagi.”

“Kenapa?”

“Kalau alasannya cuma karena hujannya mau pergi jauh sekali, aku gak akan mau temenin kamu ke planetarium. Itu sama aja kamu lagi cari pengganti aku.” Sahut Rayen dengan wajah cemberut yang sama dengan satu tahun yang lalu, “Tapi aku pasti bakal selalu temenin kamu lihat bintang di langit. Karena walaupun tanah kita berpijak beda, tapi langitnya sama. Waktu kamu lihat bintang di langit. Aku juga lagi lihat benda yang sama.” Gania menyandarkan kepalanya di bahu Rayen.

“Walaupun hujannya gak selalu ada di sisi kamu, tapi hatinya hujan tetap di sini.” Kata Rayen sambil menunjuk dada Gania, “Aku cuma dua minggu di Jakarta. Dan dua minggu ini cuma milik Princess Gania.”

Gania terkekeh, “Lo… Kamu belajar ngegombal dari siapa sih?”

Roommate. Orang Prancis. Dari Negara cinta. Makanya Ayen bisa ngegombal buat Noni sekarang.” Jawab Rayen juga dengan tersenyum.

“Jadi soal mengelus dan mengecup itu juga diajarin orang dulu, baru Ayen mau ngelakuin?” seru Gania, “Ah! Gak seru.” Gania bangkit dari pelukan Rayen dan duduk agak menjauh.

Rayen menatap gadis yang berbeda dengan satu tahun yang lalu, “Kalau yang mengelus kepala dan yang ini inisiatif sendiri.”

“Yang ini?” tanya Gania.

Dan sang pangeran pun mengecup kening sang putri.

~TAMAT~

Tidak ada komentar: