Tgg yah. 15 mnit lg aq smpe. Sry, Sia. Aq ad d halte mangdu. Bntr lg nympe halte atrium. I promise.
Fr: 0818067XXXXX
Aku tersenyum melihat pesan dari Rayno. Aku terduduk di salah satu bangku halte dan melihat ke sekelilingku. Tampak sepasang suami istri sedang berbicara soal makan malam. Sedangkan di sebelahnya, ada seorang laki-laki berkaos putih sedang mendengarkan iPod. Dan di ujung halte ada petugas yang mengenakan seragam batik sedang memberikan petunjuk jalan kepada nenek yang sudah tua renta.
Sekali lagi aku membuka handphone ku dan melihat pesan dari Rayno. Dan sekali lagi aku tersenyum gembira. Aku harus sabar. Lima belas menit lagi. Dan dadaku berdegup dengan kencang. Aku mulai canggung dan ada sedikit rasa khawatir. Aku tak pernah mendengar suaranya. Walaupun hanya sebentar. Tidak pernah. Tidak sekalipun. Harapan natal ku adalah hmmm… mendengar suaranya.
Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari jarak yang tidak begitu jauh. Orang-orang berlarian ke arah jendela agar bisa melihat apa yang telah terjadi. Aku juga ikut panic, karena orang-orang bergerak bersamaan dengan cepat dan tergesa-gesa di atas halte seng yang rapuh, yang bergoyang hebat dengan guncangan sebesar sekarang ini.
Aku tidak bisa bergerak dari tempatku berdiri. Hanya bisa melihat ke sekeliling. Entah kenapa jantungku berdetak makin cepat, lebih cepat dari yang tadi. Rasa ini, seolah-olah terjadi sesuatu yang buruk. Aku segera beranjak dari tempatku. Berusaha mengintip, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Kemudian aku melihat seseorang menangis karena dentuman tadi.
“Ada apa, Bu?” Aku bertanya kepada seorang Ibu yang baru saja keluar dari gerombolan tadi, “Dentuman itu apa yah, Bu?” Si Ibu mengelus punggung gadis yang menangis tadi, “Bus Transjakarta meledak dan terbakar, karena tertabrak tronton.” Jawab Si Ibu. Aku mendadak lemas. Kakiku bergetar. “Yang dari arah mana, Bu?” Aku bertanya sekali lagi dengan penuh kekhawatiran. Ibu itu membantu si gadis berdiri dan membopongnya, “Dari Ancol, dek. Permisi.” Kemudian Ibu itu pergi.
Dan kini dadaku benar-benar kosong. Sebuah lubang besar memuai menjadi besar dan semakin besar. Rasanya jantungku menghilang tertelan sang lubang. Aku terduduk lemas. Dan semuanya gelap.
~*~
“Eufrasia Bernette,” sang guru mengeja nama lengkapku. Aku jadi agak canggung. Semua mata tertuju padaku. Jujur aku agak mual sekarang. Namun ini sudah menjadi suatu hal yang biasa. Lingkungan baru. Sekolah baru. Teman baru. Dan pandangan mata heran akan seseorang yang baru di sekolah yang baru kupijaki.
Kemudian Pak Guru member tanda supaya aku yang berbicara lebih lanjut, “Hai, nama saya…” Aku diam sesaat, “Seperti yang Pak Johan katakan tadi. Tapi kalian bisa panggil saya Frasia saja. Hmmm… saya asli Jakarta. Tapi karena urusan kantor Papa, saya sudah pindah sekolah 5 kali. Dan semoga ini menjadi sekolah baru terakhir saya. Senang bertemu kalian.” Itu saja kalimat perkenalan yang aku ucapkan selama lima kali pindah sekolah. Tapi kalimat itu sudah bisa membuat kelas bergemuruh dan bersorak.
Aku tak heran. Tapi setiap respon yang aku dapatkan akan menjadikan aku makin sensitive. Kali ini aku bertanya, kenapa mereka bersorak? Apa karena namaku yang aneh? Atau karena wajahku yang aneh? Aku sekarang berjalan mendekati bangkuku di pojok kelas sambil merasa mereka sedang menahan tawa karena aku si badut sedang berjalan di samping mereka.
Sekolah baru, hal sensitive kesekian membuatku tidak berkonsentrasi. Karena aku merasakan mereka sok memperhatikan pelajaran tapi seperti sedang berbisik memnbicarakan sesuatu dan sesekali melirik ke arah bangku ku. Namun hanya seorang lelaki yang sama sepertiku – tidak suka diekspos diam memperhatikan sang guru yang sedang menerangkan trigonometri dasar.
~*~
Saat istirahat tiba. Biasanya waktu istirahat adalah waktu yang paling aku takuti. Karena rentan akan bullying. Aku sedang mencari bangku kosong agar aku bisa makan siang dengan tenang. Aku berjalan di pinggir meja-meja kantin yang berbaris rapi. Hingga berhenti pada satu meja yang sudah diduduki dua orang perempuan yang berwajah familiar.
Mereka berdua adalah teman sekelasku. “Boleh saya duduk di sini?” kataku sembari menunggu jawaban dari mereka yang tengah berdiskusi sesaat. Kemudian perempuan berrambut ikal menangguk. Sedangkan perempuan berrambut bob menarik kursi untukku.
“Hai, gue Rhema.” Kata Si Bob.
“Gue Kezia, panggil aja Zee.” Sekarang si rambut ikal melanjutkan sesi perkenalan itu.
Aku tersenyum. Mereka tidak seburuk yang aku pikirkan. Kemudian aku membuka kotak makan dan mulai menyendok nasi. “Lu dari sekolah mana sebelumnya?” Tanya Zee memulai pembicaraan. Rhema juga terlihat ingin tahu, ingin mengenal aku lebih dekat.
Gue menarik nafas, “Gue dari Makassar. Bokap gue pegawai negeri gitu. Sering pindah-pindah. Terakhir ini beliau naik pangkat. Jadi gak pindah-pindah lagi.” Kataku menjelaskan. Mereka berdua menangguk.
“Lu berdua lagi ngomongin apa?” tanyaku gantian.
“Prom Nite. Kita OSIS mesti bikin acara Prom Nite buat angkatan yang mau lulus.” Jelas Rhema. Aku bertanya keheranan, “Tapi kan kita masih kelas 2?”
Zee mulai menjelaskan, “Iya tapi itu udah hukum OSIS kali yah. Jadi emang gitu prosedurnya. Kita yang Prom nanti angkatan bawah kita yang sibuk nyari EO, konsep dan segalanya. Kitanya tinggal have fun.”
Oh, aku mengerti. “By the way, kita lagi kekurangan orang buat jadi seksi acara nih. Berminat ga, Frasia?” Rhema yang sehabis bertatapan dengan Zee bertanya kepadaku. Aku masih sibuk dengan bekal hingga tidak begitu memperhatikan. “Sorry, bisa diulangin lagi?”
“Panitia prom nite kekurangan seksi acara yang muda, berbakat, kreatif dan anti mati gaya, Sia. Dan gue piker elu cocok dengan kriteria itu.” Sambung Zee tanpa basa-basi. Aku bingung, “Darimana kamu bisa menilai aku berbakat, kreatif dan anti… mati gaya?”
“Insting!” Dan sepertinya secara otomatis, aku resmi menjadi seksi acara prom nite yang bertemakan Hospital-ity tahun ini. Aku pun jadi pusing.
~*~
Sudah hampir seminggu aku belajar di sekolah ini. Sekolah ini mempunyai atmosfir yang lebih open dari sekolah-sekolahku yang lama. Anak-anaknya tidak senioritas seperti yang aku takutkan dan aku mendapatkan teman dengan cepat. Yeah, Kezia dan Rhema adalah teman terdekatku untuk sekarang. Dan hal yang mendekatkan ku lebih dengan mereka adalah seksi acara prom nite tahun ini.
Aku sedang berjalan bersama Rhema dan Kezia ke kantin. Sambil menenteng kotak makanku, Kezia duduk di salah satu bangku kayu. Rhema duduk di sebelahnya. Dan aku hanya meletakkan tempat makan di meja dan membetulkan tali sepatuku.
“Zee, gue sudah ketemu dress code yang cocok untuk prom nanti.” Kataku membuka pembicaraan sambil duduk di salah satu bangku yang masi kosong. Aku memang bukan orang yang bisa membuka bahan pembicaraan. Tapi teman baruku, sekolah baruku dan atmosfirnya membuat aku menjadi lebih supel.
Rhema kaget, “Wow, lu memang kreatif, Sia. Aku aja belum kepikiran sama sekali.” Mereka berdua mulai tertarik dengan ideku, “Apa, Sia ide lu?” sambung Rhema.
“Tema prom kita Hospital-ity, khan?” Tanyaku memastikan. Mereka kompak mengangguk. “Gue pikir, prom dengan tema itu harus menunjukkan formalitas, “aroma” rumah sakit dan keramah tamahan. Jadi menurut gue gaun dan tuxedo are a must! Terus kita boleh jadiin warna merah untuk unsur rumah sakitnya. Dan buat ramah tamahnya, kita bisa kasi little tiara buat para cewek dan bros kupu-kupu buat cowok.”
Kezia dan Rhema saling berpandangan. “Gue sih oke aja deh, setuju. Top markotop deh lu, Sia.” Sahut Rhema sambil melahap soto ayam nya. Kezia terlihat masih menimbang-nimbang. “Hmmm… gue masih belum bisa ambil keputusan sih, Sia. Gue pribadi sih suka banget sama konsep lu.” Jelas Kezia.
“Gue gak minta lu langsung setuju kok, Zee. Santai aja. Kita rapatin sama yang lain aja dulu.” Aku mencoba untuk easy going. Soalnya namanya panitia kan perlu persetujuan semuanya.
Kezia dan Rhema mengangguk. Kemudian kami bertiga melanjutkan makan siang dalam diam. Tiba-tiba Rhema menyenggol tangan Kezia, “Zee, Rayno tuh.” Kezia melirik ke arah yang Rhema maksud. Aku penasaran, kemudian aku ikut melihat ke sosok yang Rhema maksud.
Lelaki. Tinggi. Berkacamata frame kotak. Rambut hitam pekat. Dan membawa semangkuk baso. Berjalan sendirian melewati keramaian. Entah mengapa waktu berjalan sangat lambat, seiring aku menggambarkan wajah dan perawakannya. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Itu yang aku rasakan sekarang. Dia misterius.
“Siapa dia?” tanyaku pada mereka berdua tanpa bergeming sedikitpun.
Dengan ujung mata aku melihat Kezia dengan wajah agak jutek melanjutkan makannya sambil menjawab pertanyaanku, “Raynolinus Praja. Si pangeran es super dingin yang tidak pernah berbicara sama siapapun.” Aku masih menatap Rayno dengan lekat dan tidak bergeming seikitpun. Kepalaku kini penuh dengan pertanyaan dan semua tentang dia.
“Tidak pernah berbicara?” tanyaku dalam hati. Mereka berdua akhirnya berhenti membicarakan Rayno. Dan aku juga sudah berhenti memperhatikannya. Aku memandang ayam saus di kotak makanku sambil sesekali mencoba melirik ke arah Rayno. Dan kali ini dia juga sedang melihat ke arahku. Aku beku.
Namun dia tersenyum.
~*~
Malam ini aku bermimpi tentang dia. Dia. Siapa lagi kalau bukan Rayno. Uniknya di mimpi pun aku tidak bisa mendengar suara. Itu mimpi bisu terbisu yang pernah aku alami. Padahal aku bisa mendengar suaraku berteriak memanggil namanya. Aku terbangun dan duduk di ranjang sambil menghela napas.
Mimpi aneh. Akhirnya aku melewati sisa malam kali ini dengan online. Memang tidak seperti biasanya. Aku jarang membuka online social networking seperti facebook atau Friendster. Aku malah tidak punya accountnya sama sekali. Aku hanya mempunya account windows live messenger karena aku butuh untuk komunikasi dengan saudara-saudara yang ada di benua lain. Dan aku segera sign in.
Ada seseorang yang meng-add ku. Aku menerima invitationnya dan melihat apakah orang tersebut sedang online atau tidak. Emailnya adalah ryn_prj@hotmail.com. Siapa dia? Pikirku dalam hati. Aku tidak bisa dan tidak mau menebak. Kemudian karena dia sedang online aku memanggilnya.
“Hai, ini siapa yah?” tanyaku.
“Rayno.” Dia menjawab sangat singkat.
“Rayno siapa yah?”
“Raynolinus Praja.” Aku diam sebentar melihat nama itu muncul di monitorku. Memutar otak karena kaget yang berlebihan. Astaga. Dia, Rayno yang baru saja muncul di mimpiku tadi. Dia yang suaranya tidak pernah di dengar.
“Ooo…” Aku terdiam menunggu responnya. Namun nihil. Akhirnya aku bangkit dari bangku dan kembali melangkah ke tempat tidur. Aku memutuskan kembali tidur. Mungkin kini akan jauh lebih nyenyak. Namun suara nudge mengagetkanku.
“Hei, temani aku ngobrol.” Tiba-tiba tulisan itu terlihat di monitorku dan aku kembali duduk untuk memenuhi permintaannya.
~*~
Aku ad rapat prom nih, Ray. Jm 10, ak ol deh. Ok?
To: 0818067XXXXX
Sejak malam itu aku semakin dekat dengan Rayno. Kami bertukar nomor handphone. Hampir setiap hari kami SMS atau chatting. Namun hampir setiap kesempatan yang ada, dia tidak pernah mencoba untuk meneleponku. Tidak pernah sama sekali. Aku berharap dia mau menceritakan alasan dibalik “aksi bisu” nya di sekolah.
Aku duduk di depan komputer dan mengaktifkan windows live messenger. Aku segera menemukan Rayno yang tengah online, aku segera memanggilnya.
“Hai, Rayno!” aku mengetik sambil tersenyum, kemudian menunggu.
“Frasia…” dia hanya mengetikkan namaku.
“Kenapa, Ray?”
“Aku ingin nonton film, di bioskop. Mau gak temanin aku?” Yaps! Berhasil Rayno. Kamu berhasil membuat wajahku memanas dan memerah.
“Kamu gak keberatan ngajak aku?” sangking saltingnya hanya kalimat itu yang bisa aku ketik. Ergh! Bodohnya aku!!!
“Tidak sama sekali.” Kemudian dialug kami berhenti sesaat. “Atau malah kamu yang keberatan karena mungkin aku gak akan ngobrol sama kamu?” Ya ampun, dia seperti bisa membaca pikiranku. Memang benar aku takut akan hal itu, Ray, tapi…
“Bukan gitu maksud aku, Ray. Tapi…”
Belum selesai aku melanjutkan, Rayno sudah bisa menjawab segala pertanyaanku. “Ayah ku bekerja di luar negeri dan jarang pulang. Aku tinggal dengan ibuku yang bisu, Sia. Aku jarang berbicara. Akhirnya aku malah terbiasa menjadi seperti mereka, bisu.”
“I’m sorry to know that, Ray. Jadi itu jawaban kenapa kamu tidak pernah bicara di sekolah?” Aku seru dengan asumsiku sendiri.
“Itu hanya salah satu alasan, Sia. Aku juga kurang bisa bergaul dan lebih suka menyendiri.” Kemudian Rayno menambahkan. Dan aku mengerti sekarang. Aku tahu Rayno sekarang bukan dari asumsi semata.
Aku diam. “Besok kita ketemu di Halte Atrium jam 10. Aku tunggu kamu di sana. Aku janji gak akan buat kamu diam sendirian seperti orang bodoh. Aku pasti akan dengar aku bicara.” Dia melanjutkan ajakan nontonnya tadi.
“Ok. I really hope to hear your voice. You know?”
“And I really hope to see your smile. Night!” Kemudian Rayno offline tanpa memberitahuku apapun. Aku tersenyum dan mematikan komputer. Aku ingin segera tidur. Supaya hari esok segera datang dan aku mendapatkan hadiah natalku lebih cepat.
~*~
Aku mungkin saja sudah bisa mendapatkan hadiah natalku, jika bus itu tidak meledak dan terbakar. Aku mungkin sudah bisa mendengar dia bercengkrama denganku, jika saja dia tidak mengajakku pergi nonton. Dan dia mungkin sudah bisa melihat senyumanku, jika aku tidak pernah setuju dengan ajakan nontonnya.
Semua itu tiba-tiba muncu di benak sesaat setelah aku sadar kalau aku terbaring di atas ranjang dorong rumah sakit. Seorang suster di sampingku tersenyum, “Kamu sudah boleh pulang.” Kemudian beliau pergi mendekati pasien yang lain. Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku. Meraih tas yang tergeletak di meja samping ranjang dan berjalan dengan pelan.
Dari kejauhan aku mendengar percakapan dokter dengan seorang lelaki dan istrinya yang tengah berusaha berbicara dan menangis namun tidak bisa mengeluarkan suara.
“Kecelakaan itu memang tidak berakibat yang parah. Namun secara psikolugis, hal itu membuat dia trauma. Dia tidak bisa bicara untuk sementara. Namun kami belum bisa memastikan sampai kapan.” Air mataku melengos tanpa aku perintahkan. Aku hanya menengadah, mencegah air mata ini keluar lebih banyak lagi. Aku menyandarkan tubuhku ke dinding. Kemudian pikiran-pikiran jahat kembali menghantui.
Andai saja aku bilang aku tidak bisa pergi. Andai saja aku tidak setuju untuk pergi. Andai saja aku yang menyusul dia ke halte Ancol. Andai saja… Entah berapa banyak pengandaian yang bisa aku buat ditengah penyesalan ini. Penyesalan ini membuat aku kesal. Marah. Dan bisa jadi gila.
Sekarang ada tiga penyesalan dalam hidupku. Pertama, aku membuat dia tak bisa bicara lagi. Dua, dia tidak akan melihat senyumku lagi. Ketiga, aku jatuh cinta padanya. Aku menyesal. Suaranya hilang bersama dengan senyumku. Dan aku menyesal karena aku mencelakai orang yang aku sayangi, bodoh!
~*~
Hari ini Rayno keluar dari rumah sakit. Dan aku ada. Aku amat bersyukur. Dengan bersamanya sampai dia mendapatkan kembali suaranya, aku sudah bisa menghapus rasa bersalahku. Ini bukan hukuman atau ganjaran, tapi ini hadiah.
Rayno menyenggol tanganku. Kemudian dia menuliskan sesuatu di notes kecil yang aku belikan untuknya. Tempat dimana kami bisa berkomunikasi.
“Aku ingin mengajakmu pergi lagi.” Tulisnya.
“Kemana?” tanyaku hati-hati dan perlahan. Dia menulis lagi, agak lama namun dia tersenyum.
Aku membaca satu kata yang tertulis di situ, “PROM.” Aku amat bahagia.
~*~
Aku memang menyesal. Aku memang hampir gila. Aku memang merasa bersalah. Tapi berkorban untuk orang yang dicintai bukan hal yang perlu di sesalkan, bodoh dan gila. Aku hampir mati bunuh diri karena Rayno kehilangan suara. Aku hampir gila karena aku tak dapat mendengar suara Rayno.
Tapi penantian untuk mendengar suara orang yang kita cintai bukanlah sesuatu yang membosankan dan patut untuk di tangisi. Tapi penantian ini adalah penantian terindah. Apalagi kado terindah sudah menanti. Rayno akan terapi dan setelah terapi Rayno akan sembuh dari kebisuannya.
Dan aku akan menunggu kado itu sampai natal keberapapun.
~*~
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar