Kamis, 14 November 2013

Booklet Oranye Jakarta

Saya gak ingat itu hari apa, tapi yang saya ingat hari itu saya harus menjalankan tugas "kenegaraan" bersama dua orang pria sebut saja O dan E untuk melakukan survey ke suatu tempat rekreasi di daerah Jakarta Timur. Hari itu cuaca sangat cerah, matahari bersinar sangat semangat, jadi buat saya yang mudah berkeringat, hari itu bisa dibilang hari terlepek sedunia.

Kami bertiga sudah punya rencana untuk mampir ke beberapa tempat di sana. Opsi pertama adalah GW, opsi kedua adalah DS.

GW adalah sebuah graha dengan penampakan sangat sederhana karena bisa dilihat dari harga sewa yang ditawarkan. Sedangkan DS adalah sebuah hostel yang cukup mewah dengan tempat makan pagi buffet yang membuat O sangat terobsesi untuk mencicipi satu atau dua menu di sana siang itu.

Tujuan pertama kami adalah GW. E memarkirkan mobilnya di lahan yang tersedia dan mematikan mesin, kemudian kami turun dan memasukin gedung yang sudah agak tua itu.

Kita lewati saja bagian tugas "kenegaraan" yang saya lakukan.

Setelah berputar-putar melihat kondisi gedung GW dan O melakukan beberapa dokumentasi, masuklah kita kebagian pertanyaan soal harga dan tawar menawar. Bagian itu, E mentitahkan saya untuk mengambil andil. Saya bertanya soal harga dan fasilitas, lalu si penjaga mengeluarkan secarik kertas yang sudah berisi rincian harga sewa dan fasilitas yang kami dapatkan bila menggunakan gedung itu.

Saya mengangguk. Lalu E mulai menginterogasi si penjaga dengan berbagai pertanyaan mendetail sedangkan O ikut berdialog dengan mereka berdua. Saya, saya melemparkan pandangan ke sebuah buku atau booklet berwarna gradasi oranye berjudul MUSEUM JAKARTA.

"Ini boleh diambil, Pak?" saya bertanya pada si penjaga yang sudah selesai diinterogasi E dan O. Mas penjaga (ya Mas, karena umurnya masih sekitar akhir 20 jadi belum pantas di panggil Pak, tapi E dan O memanggil "Pak" sedari tadi) mengangguk semangat, "Ambil saja Mbak." Beliau tersenyum.

Kami pamit untuk melakukan tugas "kenegaraan" ke gedung DS untuk pembanding. Saya memasukkan booklet oranye itu ke dalam tas tanpa tahu alasan mengapa saya mengambilnya. Lalu kami bertiga melanjutkan tugas "kenegaraan" dengan semangat agar hari yang terik itu segera berakhir.

***

Random.

Satu kata itu muncul di otak saya. Sore itu, setelah mandi dan keramas, setelah melewati hari yang terik karena tugas "kenegeraan", saya duduk melantai di kamar saya yang bercat dinding biru laut dan memandangi booklet oranye yang saya ambil siang tadi. Saya buka booklet itu di halaman pertama, "Selamat Datang di Jakarta" buku tersebut seakan menyapa. Lalu saya buka lagi ke halaman berikutnya. Booklet itu adalah sebuah kertas besar yang dilipat-lipat hingga 25 bagian bolak-balik yang berisi keterangan berbagai jenis museum yang berbeda di dalamnya.

Monumen Nasional
Museum Sejarah Jakarta
Museum Transportasi
Museum Wayang
Museum Seni Rupa dan Keramik
Museum Pusat Peragaan IPTEK
Museum Gedung Joang 45
Museum Tekstil
Museum Prasasti
Museum Bahari
Museum Sumpah Pemuda
Museum Perangko Indonesia
Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Museum Listrik dan Energi Baru
Museum Mohammad Husni Thamrin
Museum Kebangkitan Nasional
Museum Reksa Artha
Museum Basuki Abdullah
Museum Satria Mandala
Museum Bank Indonesia
Museum Mandiri
Museum Nasional Republik Indonesia
Museum Istiqlal Bayt Al Quran
Museum Harry Darsono
Museum Layang-Layang
Museum Kepolisian Republik Indonesia
Taman Arkeologi Onrust
Monumen Pancasila Sakti
Museum Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dan
Museum Manggala Wanabakti

Yang saya lakukan hanya screening atau membaca cepat nama-nama museum itu dan dengan cepat pula melihat gambar-gambar yang ada pada booklet itu. Saya lipat lagi booklet hingga kebentuk semula kemudian kembali mengambil handuk dan mengeringkan rambut yang masih basah.

Sambil mengucek-ucek rambut, pikiran saya, otak saya seperti sedang bertanding dengan jutaan reaksi-reaksi sel memainkan sebuah rencana liar.

Saya ingin sekali menghabiskan setiap akhir pekan saya dengan mencoret satu persatu daftar museum itu................................bersama orang yang saya sayangi. Anggaplah itu kencan. Karena belakangan ini, saya terlalu anti-mainstream.

Lalu saya letakkan booklet itu di lemari buku dan konsentrasi saya langsung saya pusatkan pada layar laptop yang menyala menampilkan status Facebook seorang teman.

***

Sebulan.
Ah mungkin lebih.
Atau ternyata sudah dua bulan, malah lebih.
Saya meninggalkan booklet itu di lemari buku.

Hari ini saya lihat lagi dan dia sudah tertutup debu. Begitu saya buka lagi booklet itu, yang ada di otak saya bukanlah betapa menariknya museum-museum itu jika dikunjungi, tapi begitu menariknya museum-museum itu jika saya kunjungi bersama dia.

Maaf, memang dari awal cerita ini bukan menceritakan tentang bagaimana saya akan menghabiskan daftar museum itu sendirian. Tapi cerita ini adalah tentang bagaimana saya akan menyusun cerita agar dia mau menghabiskan daftar museum ini bersama saya.

Bodoh.

Saya tidak mau menceritakan tentang dia dari awal, pada awalnya. Mungkin karena takut, malu, dan takut. Karena memang untuk saat ini bukan saya yang dia pikirkan dan untuk saat ini hanya dia yang saya pikirkan.

Booklet oranye itu seakan menatap saya, sinis.
Booklet oranye itu seakan marah pada saya, karena saya terlalu naif.
Booklet oranye itu malah terlihat tidak sedih sama sekali ketika saya sedih mengingat dia.
Booklet oranye itu bahkan nampak mengutuk saya, karena saya tinggal selama itu.
Booklet oranye itu tersenyum lesu ketika saya angkat dari lemari buku
Booklet oranye itu

Bolehkah jika saya habiskan daftar itu sendirian?

***

Sekarang di otak saya adalah

Mungkin menikmati waktu kesendirian lebih asyik daripada harus membagi waktu untuk berdua, mari berpikir secara egois. Karena belakangan ini, saya terlalu anti-mainstream.
Untuk mengabulkan berbagai permintaan dari dalam hati dan diri sendiri, untuk mengembalikan senyum si booklet oranye dan menghindarkannya dari debu-debu lemari buku, saya berencana untuk mencoret daftar museum-museum itu. SENDIRIAN.

Atau mungkin berdua dengan sahabat.
Atau mungkin bertiga dengan dua sahabat.
Atau malah berramai-ramai dengan sahabat-sahabat.

Maaf, memang dari awal saya tidak ingin menceritakan tentang dia hari ini, mungkin tidak juga besok, mungkin tidak juga nanti lusa.
Maaf, karena akhirnya dia sempat tersebut karena saya teringat dia hari ini, untuk sepersekian detik dalam waktu hari ini.
Tapi sekarang, hanya karena dia tidak memikirkan saya, bukan berarti saya berhenti memikirkan dia.
Dan
Hanya karena saya punya mimpi bersama dia bukan berarti mimpi itu tidak bisa dikabulkan karena kurang faktor "dia". Mungkin rasanya akan berbeda karena kurang saya bahagia bersama dia, tapi toh ternyata, saya masih punya beberapa bahkan banyak dia-dia yang lain, yang adalah sahabat-sahabat saya untuk menemani saya mencoret daftar museum itu.

Atau
Bahkan jika tanpa mereka,
Saya punya Aku.
Aku dan ke-Aku-an saya siap menemani saya berkeliling Jakarta, dengan sebuah ransel biru donker, kamera DSLR Canon 1000D dan payung biru untuk menerobos hujan atau terik matahari Jakarta.

Selamat sore, semuanya!

xoxo
C=

Tidak ada komentar: